Pada Mulanya Adalah (Mencintai) Kata
Pada mulanya adalah Kata (dengan K besar). Syahdan Tuhan menitahkan alam semesta ini dengan Kata: Jadilah! Maka terciptalah alam semesta dan juga manusia. Berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lain, manusia dibekali kemampuan menangkap, memahami, memaknai, bahkan mencipta kata-kata. Barangkali karena itulah saya jatuh cinta pada puisi. Ya, karena mencintai puisi adalah mencintai kata-kata. Mungkin semua orang dianugerahi kecintaan pada kata, sekalipun dengan kadar yang berbeda.
Sepanjang ingatan saya yang amat terbatas, kecintaan saya pada kata dimulai dengan kecintaan mendengar suara adzan (panggilan sholat bagi muslim). Saya tidak tahu kenapa, mungkin karena bahasanya yang asing bagi saya, mungkin karena saya sering mendengarnya. Kecintaan pada kata dan irama ini akhirnya mengantarkan saya pada kecintaan puisi, dimulai pada kecintaan membaca puisi pada usia sekolah dasar. Kecintaan ini berkembang pada rasa penasaran mencoba-coba menulis puisi waktu SMP. Kecintaan ini semakin terpupuk ketika di SMA saya berkesempatan membaca puisi secara rutin di radio, dan sempat iseng-iseng kirim ke media cetak. Waktu SMA ini pula saya mulai berkenalan dengan puisi-puisi berbahasa asing (Inggris, Jerman, Arab), baik dalam bahasa asli maupun terjemahan.
Sedangkan persentuhan saya dengan penerjemahan puisi seingat saya adalah semasa kuliah Bahasa Inggris dan teks yang pertama kali saya terjemahkan kebetulan adalah puisi Allan Poe yang dilombakan kali ini (A Dream Within A Dream). Sayangnya terjemahan saya waktu itu sudah hilang entah kemana. Ketika akhirnya saya menjadi penerjemah, sebenarnya terhitung jarang saya menerjemahkan puisi. Kalau pun ada mungkin hanya menjadi bagian dari sebuah buku. Jadi, kebanyakan penerjemahan puisi dan/karya sastra lain lebih sering sebagai hobi sambil lalu ketika ada waktu dari pada sebagai sebuah pekerjaan profesional.
Ketika Harus Memilih
bila kita mencintai yang lain
mungkin kah hati ini akan tegar
sebisa mungkin
tak akan pernah
sayang ku akan hilang
if we love somebody
could we be this strong
i will fight to win
our love will conquer all
wouldn't risk my love
even just one night
our love will stay in my heart
my heart
(Lagu sekaligus OST film “My Heart”)
Lagu di atas kerapkali saya jadikan sebagai semacam alibi atau kambing hitam atas “pengkhianatan” saya pada makna kata-kata dalam puisi asli. Bagi saya menerjemahkan makna puisi asli ke bahasa sasaran adalah pekerjaan yang mustahil. Menurut saya, yang bisa diterjemahkan adalah ruh/semangat/esensinya. Kenapa mustahil? Karena nyaris tiap kata dalam puisi memiliki kekuatan tersendiri, dan kekuatan maupun nuansa makna antara satu bahasa dengan bahasa lain sudah barang tentu berbeda. Ambillah contoh kata “I” dalam bahasa Inggris dengan kata “aku” atau “saya" dalam bahasa Indonesia, atau kata “kula” atau “ingsun” dalam bahasa Jawa. Kata-kata itu memiliki nuansa yang berbeda, kata “I” bisa dikata lebih netral dibandingkan yang lain, sekaligus mungkin terkesan lebih arogan dan egois. Sementara kata “kula” mungkin merupakan yang “paling inferior", apalagi konon kata ini berasal dari kata “kawula” yang berarti abdi/rakyat. Maka saya memilih mengkhianati makna kata, dan lebih cenderung mempertahankan keindahannya dari sisi musikalitas atau bunyi layaknya “penerjemahan” lagu di atas. Saya memilih mencari diksi dengan kekuatan tertentu dalam bahasa sasaran, mengolah rima dan tekanan, dan mengukur keindahannya ketika dibaca/dibacakan.
Untuk meraih semua itu, biasanya ada beberapa tahap yang saya lakukan dalam proses penerjemahan puisi. Pertama, membaca dan menafsirkan puisi yang hendak diterjemahkan. Bila perlu mencari referensi atau pendapat orang terkait dengan puisi tersebut. Setelah menangkap makna dan ruh puisi (kadang ini tidak langsung, tapi butuh pengendapan sampai berhari-hari), maka saya akan mencoba menerjemahkan secara kasar dalam draf awal, paling tidak makna bisa dipahami dalam draf awal ini. Kemudian, saya akan mencoba mengolah draf awal. Biasanya hasil pengolahan ini tidak langsung saya anggap final. Saya akan membiarkan dulu barang sehari dua hari untuk menciptakan semacam “jarak estetik”. Di sela-sela waktu ini, kadang saya juga meminta orang lain untuk membaca dan memberi komentar. Kadang saya melemparnya di milis-milis sastra atau situs pertemanan (social networking). Setelah proses ini, baru saya melakukan semacam sentuhan akhir pada penerjemahan saya.
Reproduksi Tidak Sama Dengan Asli
Bagaimanapun saya sepenuhnya sadar bahwa hasil terjemahan saya tidak mungkin sama dengan yang asli. Saya menganggap hasil terjemahan puisi saya adalah semacam reproduksi atau penciptaan ulang dari puisi asli. Mungkin sama seperti repro sebuah lukisan yang tidak pernah persis sama dengan aslinya. Sekalipun demikian, saya tetap berusaha mempertahankan kekuatan dan keindahan puitiknya meski belum tentu sanggup menandingi keindahan puisi aslinya. Sekali lagi, bukan makna yang terpenting tapi puisi itu sendiri. Seperti kata Archibald McLeish, “A poem should not mean, But be”.
*) Disampaikan pada Seminar Penerjemahan Puisi, Aula H3 PPS UM, 6 April 2009
Copyright © ProZ.com, 1999-2024. All rights reserved.