Dua Teknik Dasar: perspektif penerjemah Indonesia
Penerjemahan gampang-gampang susah. Mengapa?
Jika ada individu merasa dapat berbahasa dua misalnya bahasa Indonesia dan Inggris, dapat saja menjalankan aktivitas penerjemahan. Memang sungguh mudah.
Dua pendekatan yang dapat diimplementasikan saat memulai penerjemahan adalah mengambil posisi atau strategi dasar.
Yang Terdengar vs Yang Terlihat
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang manasuka. Namun, kemanasukaannya ini sungguh manasuka.
Seperti kata Shakespeare, “What’s in a name?”
Mau bunga mawar, ros, bunga merah tetap saja bunga. Rangkaian bunyi refleksi bunga tetap tidak dapat membuang keharuman, kemerahan, keelokan bunga.
Masalahnya bunyi “mawar” yang diucapkan dan yang terlihat dalam bentuk tulisan “mawar” ini dapat saja berubah tergantung dari mana yang dijadikan dasar pengalihan dari bahasa sumber ke bahasa target.
Contoh yang terdengar dan yang terlihat diperlihatkan seperti yang berikut ini. Pengalihan bahasa Inggris ke bahasa Melayu, “August” jadi “Ogos”, sementara “police” jadi “polis”.
Bahasa Indonesia memakai pendekatan yang terlihat. Misalnya “structure” jadi “struktur” bukan *”strakcer” atau “democracy” jadi “demokrasi” bukan *”demokresi”. Lagi-lagi “computer”/ “komputer”, “television”/”televisi”.
Dari para pencetus (baik yang mencetus EYD dan yang mengikuti) ada dorongan ingin mempertahankan bentuk secara kasat lewat huruf yang tidak jauh dari asli. Dan, kebanyakan kata pungutan ini lebih banyak dari bahasa Inggris.
Memang ada dari berbagai bahasa lain temasuk bahasa daerah yang masuk menjadi pembantu kata pungutan. Namun, serangan pengambilan bahasa pungutan lebih banyak dari bahasa Inggris. Apakah ini karena bahasa Inggris mendunia saat ini? Entahlah.
Namua ada paradoks jika bahasa Inggris ingin dikedepankan dan ingin diingat sebagai rujukan pengambilan bahasa pungutan mengapa bahasa Latin condong jadi pegangan? Apakah karena bahasa Indonesia disebut bahasa latin. Mungkin.
Terlepas dari ide awal para pengusung awal atau “founding fathers” tetap bahasa Indonesia lebih banyak mengambil pendekatan yang terlihat.
Contoh lain: Glossary (bahasa Inggris), cenderung diindonesiakan glosarium. Mengapa tidak glosari. Toh, “glossary” lebih dekat daripada “glosarium” sebagai fondasi. Mengapa “sites” jadi “situs” bukan *”saites”. Masih banyak contoh yang saat ini saya tidak bisa ungkapkan karena saya rasa Anda akan dapat lebih banyak memberikan contoh nyata yang terkini dan mutakhir.
Jadi, dari contoh sederhana, bahasa Inggris yang diindonesiakan memang mengambil pendekatan semacam ini.
Bila, Anda sebagai penerjemah tentu memiliki otoritas untuk menentukan “otherwise” atau berbeda. Tapi tentu kaidah mendasar yang patut jadi rujukan harus konsisten alias bisa tetap, namun lagi-lagi arus deras mayoritas akan membuat otoritas kita menjadi terikuti arus.
Bagaimana Anda memilih pendekatan terjemahan. Yang terdengar atau yang terlihat. Terserah Anda.
Copyright © ProZ.com, 1999-2024. All rights reserved.